Saat Hendri Mulyadi nyelonong masuk lapangan sambil menggiring bola, pemuda asal Bekasi itu tidak sekadar ingin "membantu" tim nasional Indonesia yang mejan dan nyaris tak berkutik menghadapi Oman. Hendri, dengan aksinya yang heroik, sekaligus menyampaikan pesan moral kepada pengurus sepak bola, terutama pentolan-pentolan PSSI yang duduk berwajah masam di tribune utama.
Hendri, yang datang dari depan tribune selatan, menerobos pagar pengaman dan menembus barisan polisi yang kemudian secara over acting meringkus pemuda pemberani itu. Secara tegas Hendri menyampaikan pesan, jika sepak bola Indonesia ingin maju, pencinta sepak bola yang murni seperti dirinya harus berani maju menerobos sekat-sekat pembinaan dan pembangunan sepak bola yang selama ini seakan-akan cuma dimiliki organisasi bernama PSSI.
Di luar aksinya yang melanggar peraturan pengamanan sepak bola standar internasional, tindakan Hendri sungguh heroik, penuh jiwa pemberontakan terhadap status quo PSSI. Hendri layak disebut pahlawan karena berani beraksi sendirian dan menantang hegemoni orang-orang yang selama ini mengaku-aku pembina sepak bola, tetapi tanpa niat tulus untuk membangun sepak bola nasional.
Seperti dikutip Warta Kota, Hendri mengakui, ia melakukan itu karena kecewa dengan tim nasional Indonesia yang tak kunjung menang. "Bukan motivasi saya menerobos ke lapangan, tetapi karena saya sangat kecewa dengan penampilan tim nasional. Enggak tahu kenapa saya bisa melakukan itu. Mungkin masyarakat Indonesia juga kecewa, Indonesia kok enggak pernah menang. Mungkin saya saja yang berani berbuat nekat seperti itu," imbuh pemuda berusia 20 tahun itu.
Berpangkal dari keprihatinan
Introspeksi, barangkali kosakata yang kurang dikenal di lingkungan PSSI. Selama sekitar satu dekade terakhir, tak terhitung banyaknya, mulai dari obrolan warung kopi, sampai kritik, saran, diskusi, dan seminar didedikasikan untuk sepak bola, untuk pembenahan sepak bola nasional dan bahan evaluasi organisasi PSSI. Semua itu berpangkal pada keprihatinan yang mendalam terhadap mutu dan prestasi sepak bola Indonesia yang semakin lama semakin tenggelam, terutama dalam kancah kompetisi internasional.
Dengan kekalahan 1-2 atas Oman, Rabu lalu, Indonesia gagal melangkah ke putaran final Piala Asia. Ini untuk pertama kalinya sejak 1996 Indonesia, yang punya rekor bagus di Piala Asia, absen. Sebelumnya timnas Merah Putih, yang diperkuat tim U-23, gagal total di SEA Games, bahkan keok di tangan Laos, tim yang selama dua dekade terakhir cuma anak bawang di lingkungan Asia Tenggara.
Dalam pergaulan internasional, sepak bola Indonesia benar-benar tidak diperhitungkan lagi. Bagaimana tidak? Di lingkungan Asia Tenggara saja kita sekarang tak lebih baik dari Laos. Adapun negara-negara lain, yang pembinanya tak punya agenda pribadi dan kepentingan, terutama uang, untuk membangun sepak bola lewat pembinaan usia dini, seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia, sudah ribuan langkah lebih maju dari Indonesia.
Bukannya mengevaluasi setiap kegagalan, PSSI justru sibuk mengutak-atik standar statuta FIFA guna mempertahankan orang-orang dengan latar belakang tidak terpuji tetap sebagai pengurus. Bukannya berkaca pada setiap langkah demi memajukan sepak bola—semisal lebih serius pada pemassalan, pembinaan usia dini, dan peningkatan mutu kompetisi—PSSI malahan sibuk bidding tuan rumah Piala Dunia 2022. Sebuah janji pepesan kosong yang sangat ironis di tengah keterpurukan prestasi di tingkat internasional.
Hendri, sementara itu, mewakili puluhan jutaan orang, yang sungguh mencintai sepak bola, dan mendambakan PSSI berbuat sesuatu yang lebih konkret dan membumi untuk mengangkat martabat sepak bola Indonesia. Saking jengkelnya, Henri yang notabene bukan siapa-siapa, tetapi merepresentasikan kepentingan rakyat, kemudian bertindak sendiri. Hendri mengaku tidak ingin mempermalukan PSSI, tetapi justru PSSI-lah yang seharusnya malu dengan kinerjanya selama ini.
Terobos sekat-sekat
Sejarah mencatat, PSSI selalu bergeming dengan segala saran, apalagi kritik. Maka tindakan heroik Hendri adalah pesan yang sangat jelas kepada seluruh pemangku kepentingan (stake holder) sepak bola nasional agar menerobos sekat-sekat, pagar kokoh yang dibangun PSSI, yang memungkinkan mereka bertindak semaunya sendiri atas nama pembangunan sepak bola.
Kepada para pembina di pelbagai daerah, klub-klub kecil, sekolah-sekolah sepak bola, korps pelatih, orang-orang yang secara tulus berkorban membina usia dini, atlet, kalangan industri, media massa, dan siapa saja yang peduli dengan prestasi sepak bola nasional, Hendri berpesan agar mereka berani bertindak sendiri dan tidak perlu memedulikan apakah PSSI mendukung atau tidak.
Kalangan industri dan sponsor serta media massa seharusnya juga malu kepada Hendri karena selama ini hanya punya perhatian terhadap program-program PSSI, terutama yang menyedot banyak perhatian seperti Liga Super Indonesia (LSI). Meski tidak menghasilkan prestasi internasional, panggung LSI yang gemerlap itu terus dijadikan primadona. Sementara kompetisi usia dini yang susah payah dibangun mandiri oleh sejumlah orang nyaris tak pernah disorot, apalagi disponsori.
Hendri, dengan segala kesahajaannya, mengajari kita untuk berani menerobos kemapanan dan status quo demi bangkitnya martabat sepak bola Indonesia.
Kompaz 8/1/10
No comments:
Post a Comment